Senin, 28 Mei 2012

Sejarawan: Oswald Spengler (1880-1936)

Sejak penerbitan Der Untergang des Abendlandes-nya Spengler (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan tajuk The Decline of the West-Kemerosotan Barat) pada tahun 1918, para sejarawan bingung dengan apa yang seharusnya mereka lakukan terhadap karya itu. Hampir secara keseluruhan, mereka mencela karya tersebut sebagai karya yang spekulatif, penuh kesalahan, dan bahkan tak masuk akal.

Sumber: Antologia-revolucionaria
Namun, orang-orang di seluruh dunia tak mengindahkan penilaian para profesional penata masa lalu itu. Bagi khalayak umum, karya Spengler itu tampaknya memberikan semacam pengukuhan bagi keyakinan mereka tentang "kegelapan masa kini" (baca: di sekitar kurun tatkala karya itu terbit).

Oswald Spengler lahir pada tanggal 29 Mei 1880 di Blankenburg, Jerman Utara. Ia mempelajari sastra/sejarah Yunani kuno, matematika, dan sains di berbagai universitas di Munich, Berlin, dan Halic, serta beroleh gelar doktor dan sertifikat mengajar pada tahun 1904 untuk dua disertasi.


Kedua disertasi tersebut masing-masing membahas tentang filsuf pra-Socrates dan Heraclitus dan satunya lagi tentang tinjauan terhadap “tingkat lebih tinggi dunia binatang). Ia sempat mengajar di Saarbrucken dab Dusseldorf sebelum mengajar di sebuah Gimnasium di Hamburg (1908). Karena Gimnasium itu baru saja berdiri dan hanya memiliki sedikit staf pengajar, Spengler mengajar bahasa Jerman, sejarah, matematika, dan sains.

Ketika ibunya meninggal pada tahun 1910, Spengler memperoleh warisan uang yang cukup banyak. Ia tetap mengajar sampai tahun berikutnya dan lantas memutuskan untuk berlatih menulis. Ia kemudian pindah ke Munich karena tidak cocok dengan cuaca di Hamburg, yang membuat sakit kepalanya sering kambuh dan memburuk. Di Munich, ia mencoba menulis puisi, drama, dan cerita pendek. Namun, kejadian-kejadian yang berkecamuk di Eropa menariknya ke politik dan sejarah. Ia lantas menulis:
Pada waktu itu Perang Dunia tampak kepada saya sebagai manifestasi kasat mata yang dekat dan sekaligus tak terelakkan dari krisis sejarah, dan kewajiban saya adalah memahaminya lewat penelitian atas spirit abad-abad – bukan tahun-tahun – yang mendahuluinya. (The Decline of the West, vol. 1, hal. 46)

***

Spengler muda mengawali dengan menulis sebuah buku yang diberinya judul Konservatif dan Liberal, namun cakupan buku tersebut meluas saat penelitiannya berkembang. Menjelang pecahnya perang, penyusunan buku yang kemudian diberi judul Der Untertag des Abendlandes tersebut telah mencapai bentuk finalnya.

Sumber: Pogues
Dalam buku ini, Spengler menawarkan sebuah studi perbandingan mengenai kelahiran, kemunduran, dan kepunahan delapan kebudayaan: Babilonia, India, Cina, Mesir, Maya-Aztec (Mexico), Klasik (Yunani-Romawi), Magi (Arab, Syria, yahudi, Byzantium, dan Islam), dan sebuah kebudayaan yang diberinya nama “Faust” (merujuk pada Eropa Barat).

Seiring pecahnya Perang Dunia I, aliran harta warisan ibunya dari luar negeri dihentikan. Spengler dua kali ditolak masuk Angkatan Darat dengan alasan kesehatan dan ditinggalkan dalam keadaan miskin. Sungguhpun demikian, ia berusaha menyelesaikan jilid pertama The Decline of the West sampai perang berakhir.

Ia kesulitan menemukan penerbit, namun akhirnya karya tersebut diterima oleh sebuah perusahaan di Wina. Menjelang penerbitan jilid kedua, tak kurang dari 100.000 eksemplar jilid pertama telah ludes terjual. Didorong oleh sukses buku tersebut, Spengler memutuskan untuk aktif dalam politik.

Spengler tak begitu yakin dengan Republik Weimar. Menurutnya, demokrasi akan segera mengantarkan kita ke era kediktatoran dan Kaisarisme. Oleh karena itu ia merasa berkewajiban untuk mencari dan mendukung seseorang yang dapat membebaskan Jerman dari kesengsaraannya.

Gagasan semacam itu membuat Spengler dilirik oleh Partai Nazi yang baru saja berdiri. Ia memang berkali-kali dibujuk oleh Georg Strasser agar bersedia menjadi propagandis. Namun, Spengler menolak karena ia merasa tak nyaman dengan rasisme dan anti-semitisme fanatik Hitler.

Dalam pandangan Spengler, Jerman membutuhkan seorang diktator yang kuat namun bijak. Ia beranggapan bahwa Jenderal von Seeckt, pemimpin angkatan darat kecil yang disahkan berdasarkan ketentuan Traktat Versailles, adalah satu-satunya orang yang layak mendapatkan peran tersenut. Namun, von Seeckt bertindak tidak seperti yang diharapkannya.


***

Seiring dengan kestabilan ekonomi Jerman pada tahun 1925 dan era kemakmuran setelahnya, popularitas Spengler menurun. Kendati demikian, penjualan The Decline of the West telah memberinya uang berlimpah. Ia memanfaatkan kekayaannya untuk memberi kuliah di seantero Jerman dan di Italia, Spanyol, Lithuania, Latvia dan Finlandia.

Spengler kembali ke sejarah dan menulis Fruzheit der Weltgeschichte (1925) dan Der Menshc und Die Technik (1931, diterjemahkan menjadi Man and Technics). Dalam Man and Technics, Spengler menggunakan simbol lava, kristal, dan amuba untuk menggambarkan karakter budaya-budaya prasejarah yang saling berurutan (100.000-20.000 SM, 20.000-8000 SM, dan 8000-3000 SM).

Pada masa pertama dari ketiga masa itu, manusia tumpah ke dunia seperti lava dari sebuah gunung berapi. Pada “masa kristal”, mereka mulai melihat bahwa mereka berbeda dari binatang yang lain. Pada “masa amuba”, manusia menjadi sadar akan diri mereka sebagai individu-individu, dan suku dan bahasa yang berbeda-beda pun muncul. Manusia, sebagaimana amuba, bebas bergerak dan ekspansif.

Dari ketiga masa itu, muncullah tiga budaya. Pertama, budaya Atlantis yang berpusat di Spanyol, Maroko, dan Sahara Utara. Kedua, budaya Kasch yang berpusat di Teluk Persia, Oman, Baluchistan, dan Haiderabad. Dan ketiga, budaya Turan yang terbentang dari Skandinavia hingga Korea.

Anehnya, ide Spengler tentang manusia yang serupa lava dan amuba tidak pernah dilansir oleh para sejarawan sebelumya. Dalam Man and Technics, Spengler menyatakan bahwa hadiah teknik industri Barat buat negeri-negeri yang kurang berkembang (sebagian besar merupakan negeri-negeri di luar Eropa Barat) akan mendorong manusia untuk merancang revolusi dunia.

***

Sesaat sebelum meninggal, Spengler kembali ke politik. Dalam Die Jahre der Entscheidung (The Hour of Decision, 1933), ia meramalkan datangnya perang yang akan membahayakan Jerman. Buku ini telah beredar luas sebelum kalangan Nazi menyadari bahwa ia mengandung penolakan tersembunyi terhadap Hitler dan para pengikutnya.

Buku tersebut akhirnya dilarang beredar dan koran-koran diharamkan mencantumkan nama Spengler. Spengler meninggal pada tanggal 8 Mei 1936 – saat larangan untuk karya monumentalnya belum dicabut.

***

Para sejarawan, tegas Spengler dalam pengantarnya untuk The Decline of the West, umumnya memandang sejarah “sebagai sejenis cacing-pita yang memanjangkan tubuhnya dari waktu ke waktu” (vol. 1, h. 21). Menurut mereka, sejarah adalah linier (bergerak maju) dan berpuncak pada peradaban Barat modern. Oleh karena itu Eropa merupakan pusat sejarah dan semua kebudayaan lain diharuskan mengikuti garis edarnya. Pandangan semacam ini, tegas Spengler, adalah tak masuk akal dan egosentris. Dia menulis:
Saya melihat, pada lamunan kosong mengenai istilah satu sejarah linier yang hanya bisa dipelihara jika seseorang menutup matanya pada pluralitas fakta-fakta tak berhingga, drama sejumlah kebudayaan besar, yang masing-masing tumbuh dengan kekuatan primitif dari tanah sebuah tumpah darah tempat ia terus terikat sepanjang keseluruhan siklus hidupnya; masing-masing menunjukkan asalnya, dan kemanusiannya dalam warna sendiri; masing-masing memiliki gagasannya sendiri, hasratnya sendiri, kehidupannya sendiri, kehendak dan perasaan, kematiannya sendiri.

... Saya melihat sejarah-dunia sebagai gambar formasi dan transformasi tak berkesudahan, gambar mekar-susut megangumkan dari bentuk-bentuk organis. (Ibid.)
Sejarah tidak memiliki pusat: ia merupakan kisah kebudayaan-kebudayaan yang tak berhingga jumlahnya yang “masing-masing berkembang dengan sangat liar serupa kembang pekarangan” (Ibid.). “Berkembang” adalah kata yang cocok, sebab Spengler, sebagaimana Herder, beranggapan bahwa kebudayaan tumbuh dengan cara-cara yang sejalan dengan siklus-hidup hewan dan tumbuhan.

Spengler juga menggambarkan perkembangan tersebut melalui istilah suksesi empat musim. Kebudayaan mengalami musim semi ketika kehidupan bersifat pedesaan, pertanian dan feodal. Musim panas datang saat kota-kota tumbuh, tata krama aristokrasi berkembang, dan para senuman terkenal menggantikan para pendahulu yang tak terkenal. Musim gugur dialami ketika kota dan perdagangan meluas, monarki-monarki tersentralisir, dan agama dan tradisi terancam. Musim dingin turun ketika skeptisisme, materialisme, imperialisme, konflik berkelanjutan dan “megalopolis” (wilayah berpenduduk padat yang berpusat pada satu kota besar atau beberapa kota besar) muncul.

Contoh yang diajukan Spengler untuk suksesi empat musim tersebut adalah kebudayaan Klasik dan Faust (baca: Eropa Barat). Kebudayaan ini mengalami “musim semi” pada masa Homerus dan selanjutnya pada Abad Pertengahan. “Musim panas” muncul ketika negara-kota Yunani dan Renaisans, “musim rontok” dialami pada masa Perang Pelopponesia dan pada abad ke-17. “Musim dingin” muncul pada masa kaum sofis, Plato, Socrates dan pada abad ke-19.

Sejarawan, tegas Spengler, harus berniat menghasilkan sebuah “morfologi” kebudayaan yang komparatif “fisiognomis”: sebuah catatan tentang kebudayaan sebagai organisme yang tumbuh, berkembang, uzur, dan punah.

Metode studi semacam itu, tegas Spengler, akan memungkinkan sejarawan untuk membuat prediksi tentang masa depan kebudayaan-kebudayaan tertentu. Memang, Spengler meniatkan karyanya sebagai usaha serius pertama untuk memprediksi “durasi, ritme, makna, dan hasil sejarah Barat kita yang belum selesai”.

Ia bahkan menegaskan bahwa kebudayaan memiliki siklus hidup sekitar 1000 tahunan dan menggambarkan dengan cukup jelas dan tegas “kehidupan” empat kebudayaan (Faust, Klasik, Cina, dan Mesir) dalam tiga tabel yang terlampir dalam jilid 1. Namun, di tempat lain, ia menegaskan bahwa masa-hidup aktual barangkali sangat bervariasi.

Beberapa kebudayaan barangkali mungkin tetap bertahan dalam kecamuk lebih dari 1000 tahun, sebagaimana yang menurut Spengler ditunjukkan oleh kebudayaan Cina dan India. Sebuah kebudayaan barangkali juga bisa punah setelah menempuh masa yang relatif pendek lantaran serangan pihak luar, sebagaimana yang terjadi pada kebudayaan Maya-Aztec, atau lantaran “pseudomorfosis”.

Pseudomorfosis merujuk pada kasus-kasus di mana sebuah kebudayaan asing yang lebih tua mendominasi sebuah kebudayaan muda sampai pada taraf tertentu hingga perkembangan normal kebudayaan yang lebih muda macet (Ibid., vol. 1, h. 183). Spengler menyatakan bahwa pseudomorfosis terjadi di Rusia, lantaran ia meyakini bahwa impor Marxisme telah menghentikan pertumbuhannya.

Ia juga tak mau gegabah mengatakan bahwa “nasib” kebudayaan sangat tergantung pada “karakter dan kapasitas para pemain secara individual” (Ibid., vol. 1, h. 38, 145; vol. 2, h. 446). Pernyataan-pernyataan Spengler yang bervariasi menyulitkan untuk menentukan ke mana ia bermazhab terkait dengan isu determinisme dalam sejarah.

Spengler juga meyakini bahwa kebudayaan dibentuk oleh gagasan-gagasan penting atau “simbol-simbol penting” yang khas. Simbol-simbol yang membentuk masing-masing kebudayaan sangat berbeda satu sama lain sehingga pemahaman lintas budaya hanya dimiliki oleh sedikit orang. Spengler adalah salah satu dari sedikit orang itu.

Bagi orang-orang Magi (para imam zaman Parsi kuno) (0-1000 M), misalnya, dunia adalah serupa goa besar tempat cahaya bertarung dengan kegelapan. Pandangan dunia seperti ini, tegas Spengler, tampak dalam “magi” (daya tarik kekuatan supranatural) Aljabar, pandangan Ptolemus terhadap alam semesta, dan arsitektur basilika (bangunan berbentuk persegi panjang dengan deretan pilar yang menjadi cikal bakal gereja) dan masjid.

Kebudayaan Eropa Barat (900-  ) adalah kebudayaan “Faust” lantaran hasrat (ambisi) dan cita-cita tiada batas orang-orangnya. Menara-menara katedralnya menjulang ke langit, lukisan-lukisannya menawarkan kedalaman perspektif yang sebelumnya tak terpikirkan, kapal-kapalnya menjelajahi dan menaklukkan samudera, dan senjata-senjatanya membuat kehancuran sampai taraf yang tak terkirakan hingga sekarang.

***

Ketika membaca The Decline of the West, kita mau tak mau akan bertanya-tanya mengapa buku tersebut demikian populer. Jawabannya terkait dengan soal waktu (timing). Buku tersebut menyuarakan kecurigaan dan kekhawatiran publik bahwa kolapsnya Jerman antara 1918 dan 1923 adalah gejala malaise (keadaan lesu dan kurang sehat yang mendahului sakit yang lebih gawat) yang lebih luas.

Pada abad ke-20, orang tak percaya lagi pada gagasan tentang kemajuan sejarah (historical progress). Bahkan, mereka melihat banyaknya konflik pada masa mereka sebagai bukti kemerosotan. Spengler mempertegas pandangan mereka terhadap dunia saat itu.

Sangat sedikit sarjana Jerman yang mengemukakan pujian terhadap The Decline of the West. Bahkan mereka yang menyatakan dukungan buat Spengler pun memujinya dengan sejumlah kualifikasi.

Manfred Schroester, misalnya, kagum dengan “semangat tempur” Spengler namun menganggap pernyataan-pernyataannya kasar dan keras, dan meskipun Eduard Meter menganggap bahwa penilaian Spengler terhadap masa kini sebagai masa masa kemunduran belum seberapa, ia menampik pandangan bahwa seluruh gerak kebudayaan adalah ekspresi dari sebuah simbol penting dan bahwa interaksi kebudayaan nyaris tak mungkin dilakukan.

Di luar Jerman, buku tersebut jarang diterima dengan baik. Benedetto Croce menganggap Decline sebagai pengulangan semata dari apa yang telah dikatakan oleh Vico dalam The New Science dua abad sebelumnya. Andre Fauconnet menganggap Spengler sebagai seorang chauvinist Jerman. R.G. Collingwood mempertanyakan tulisannya tentang “simbol-simbol penting” dan pemahamannya terhadap sejarah kuno. J.T. Shotwell menolak pendapat bahwa demokrasi akan membawa kemerosotan lebih lanjut.

Rentetan kritik lain pun muncul. Para sejarawan menyatakan bahwa Spengler telah menyeleksi dan bahkan membuat detail sejarah yang cocok dengan skemanya, bahwa ia gagal mendukung klaim bahwa masing-masing kebudayaan secara mendasar berbeda satu sama lain, dan bahwa suka buat dipahami ketika ia berargumentasi bahwa pemahaman lintas kebudayaan terbuka buat sedikit orang dalam sebuah buku yang ditulis buat khalayak luas.

Namun, khalayak tidak mau tahu dengan penilaian-penilaian semacam itu. Decline diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa dan, meskipun penjualannya semakin berkurang pada tahun 1920-an, sejumlah karya lain yang melambungkan kembali minat publik terhadapnya bermunculan.

Pada tahun 1940-an karya para sejarawan siklis (pengamat siklus sejarah) baru seperti Arnold Toynbee, Pitrim A. Sorokin, dan Alfred L. Kroeber mengundang komparasi. Meskipun para sejarawan “Spenglerian baru” ini sebenarnya adalah “anti-Spenglerian”, mereka mengakui bahwa Spengler telah merombak modelsejarah yang lazim dipakai dan membuka sebuah diskursus tentang “kehidupan” kebudayaan-kebudayaan dunia.

Ide-ide Spengler juga diadopsi dan diadaptasi oleh para penyair seperti TS Elliot, Ezra Pound, Yeats, dan W.H. Auden, para novelis seperti F. Scott Fitzgerald, dan para filsuf seperti Ludwig Wittgenstein.

Pada dekade 1970-an, ketakutan terhadap overpopulasi dan ekspansi cepat komunisme ke Asia membuat banyak orang melihat kembali pada Spengler. Dalam Twilight of the Evening Lands,misalnya, James Fennelly melihat banyak bukti untuk menyatakan bahwa Barat tengah merosot. Demikian pula halnya, karya-karya pesimistik serupa bisa dijumpai dari dekade 1980-an dan 1990-an. Pada dekade 1990-an, ide-ide Spengler juga milai tampak di sejumlah situs web kalangan neo-fasis dan rasis. Ironisnya, ide-ide Spengler digunakan untuk mendukung Nazisme.

Popularitas The Decline of the West yang berkelanjutan tidak disebabkan oleh apa yang Spengler katakan tentang masa lalu, namun karena apa yang Spengler katakan tentang masa kini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar